Senin, 05 Juli 2010

Anas, harapan (semu) politik kaum muda


Kemenangan Anas Urbaningrum menjadi ketua umum partai Demokrat menjadi wacana besar dan inspirasi bagi kesadaran politik anak-anak Muda. Anas yang memang memiliki usia relatif muda dibandingkan kedua calon lain dianggap merepresentasikan kesempatan politik kaum muda dalam kepemimpinan partai politik. Kemenangan Anas pun dijadikan sebagai ukuran untuk melepaskan budaya patronase yang melekat dalam tradisi kepartaian di Indonesia.


Jika demikian adanya, betulkah kemenangan Anas dapat menjadi khabar baik bagi partisipasi politik kaum muda? Apakah Anas merepresentasikan gagasan muda dalam memenangkan kontestasi politik di partai Demokrat. Atau yang lebih penting, justru sejauh mana gagasan-gagasan anas dapat hidup dan menjaga eksistensinya didalam partai Demokrat.

Anas dan gagasan ’semu’

Anas memang bukan pemain baru dalam konstelasi politik nasional. Selain pernah menjadi anggota KPU, beliau juga pernah menjabat ketua umum organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (1997 – 1999). Disitulah cikal bakal dan pengalaman membangun organisasinya ditumbuh-kembangkan. Dengan gaya bicara santun dan pikiran-pikiran cerdas, anas menjadi sosok dan karakter ideal dalam pentas politik.

Dalam kampanye-nya yang disampaikan kemarin , Anas bertekad melaksanakan konsep berpolitik dengan gagasan. Pidatonya yang berjudul ”membangun budaya demokrasi” menawarkan gagasan dan visi yang jelas agar partai politik (baca ; partai demokrat) dapat menjadi partai modern dan partai demokratis ke depan. Menurutnya, ada beberapa masalah yang diidentifikasikan sebagai tantangan partai politik dalam membangun budaya demokrasi yang baik. Permasalahan itu antara lain ; politik uang, patronase, semangat sub-nasionalisme, meritokrasi yang lemah dan munculnya kecenderungan fenomena ”zero sum game” dalam persaingan politik. Gagasan-gagasan ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda dan kalangan pengikut partai demokrat.

Sejauh itu, Anas tentu masih dapat dianggap merepresentasikan kaum muda. Gagasan yang dilontarkannya dapat dikategorikan radikal apabila dikemukakan menjelang kontestasi partai Demokrat. Apalagi jika melihat situasi pencalonannya, praktis gagasan Anas (Utamanya soal gagasan partai modern dan demokratis) dapat dilihat sebagai kritik terbuka terhadap kondisi yang tengah berjalan didalam partai Demokrat. Tak sedikit orang yang memaknai gagasan ini sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan peran dan pengaruh SBY dalam perjalanan partai Demokrat ke depan. Dalam situasi seperti inilah, gagasan Anas dianggap mewakili kepentingan dan semangat kaum muda. Gagasan Anas diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi kondisi partai politik yang masih kolot-konvensional.

Sayangnya semua itu tampak seperti gagasan semu. Apa yang dikemukakan Anas ternyata tak berjalan sesuai di lapangan realitas. Hambatan melakukan perubahan justru bermula dari dalam dirinya sendiri. Didalam dirinya, Anas tak mampu mengejawantahkan gagasan-gagasannya karena harus bernegosiasi dengan keadaan. Anas memiliki tingkah laku yang paradoksal dengan gagasan-gagasan yang dilontarkannya.

Pertama, Anas tak mampu menampik image atau kesan mirip SBY yang diopinikan oleh banyak orang. Gaya politik santun dan karakter cerdas yang ditampilkan dirinya seolah-olah merupakan hasil dari transformasi nilai-nilai yang diajarkan oleh SBY. Padahal karakter tersebut sesungguhnya merupakan karakter khas pribadi seorang Anas, jauh sebelum Anas mengenal dan memasuki partai Demokrat. Jika anas tampak mendiamkan atau cenderung membiarkan (dan mungkin menikmati) kondisi tersebut maka itu dapat berarti Anas tak bersikap ”serius” terhadap gagasan-gagasannya. Gagasan anas tampak semu ketika ia justru bermaksud membangun karakter politik khas partai demokrat harus sesuai dengan karakter yang sudah digariskan oleh SBY. Disini Anas justru tampak mewariskan karakter patronase didalam dirinya. Anas tentu tak bermental muda ketika berlaku demikian.

Kedua, gagasan yang disampaikan Anas selayaknya sesuai dengan aspirasi gagasan kaum muda karena identik dengan independensi dan sikap kemandirian. Sehingga pemahaman soal gagasan kaum muda pada akhirnya nanti diukur oleh sejauh mana karakter independensi personal diterjemahkan dalam kebijakan partai. Sekali lagi, sepertinya Anas lupa dengan hal itu. Kemenangan Anas bukanlah awal untuk mengurangi praktek budaya patronase namun justru menjadi awal untuk melestarikan situasi paternalistik dalam bentuk baru. Hadirnya majelis tinggi partai Demokrat (dimana SBY terdapat didalamnya) yang memiliki fungsi dan kewenangan yang begitu besar menjadi bukti bahwa gagasan Anas tak berlaku dalam praktek. Hampir dapat dipastikan kemudian, Anas takkan mampu mengurangi peran tunggal dan ketergantungan partai Demokrat terhadap figur SBY dalam mengelola dinamika kepartaian.

Kedua hal ini sekaligus dapat bermakna bahwa kemenangan yang dimiliki oleh Anas sesungguhnya bukanlah sebuah kemenangan gagasan, namun terdapat pertimbangan/ faktor politik lain yang menyebabkan dukungan kemenangan mengalir ke Anas. Jika demikian, maka wajarlah gagasan-gagasannya menjadi begitu semu karena hal ini bermula dari problematika individu seorang Anas.

Masih (dapatkah) menjadi harapan

Terlepas dari itu semua, Anas tetap merupakan sosok yang memiliki potensi besar dalam kepemimpinan politik kaum muda. Tampilnya Anas sebagai pemimpin partai politik memberikan secercah harapan partisipasi politik kaum muda yang lebih luas. Anas menghadirkan inspirasi bagi estafet kepemimpinan ditengah kondisi partai politik yang ”kering” suasana regenerasi. Setelah kejayaan kaum muda di era founding fathers, Anas mewakili tradisi baru kepemimpinan politik kaum muda.

Harapan yang begitu besar ditujukan kepada seorang Anas. Melalui gagasan-gagasan yang disampaikannya Pidato Membangun Budaya Demokrasi), Anas memberikan harapan munculnya kondisi demokrasi yang produktif bagi generasi muda. Namun hal itu tak berarti apa-apa ketika gagasan tak berjalan sesuai dengan realitas. Pelaksanaan gagasan harus bermula dalam praktek tindakan personal. Sedini mungkin, Anas semestinya membuktikan gagasan cerdasnya dapat berjalan didalam logika partai demokrat. Anas harus mampu memberikan keteladanannya dengan mempraktekkan gagasan-gagasannya menjadi panduan kebijakan partai. Jika tidak, maka gagasan-gagasan yang dikemukakan selama ini hanyalah gagasan-gagasan semu. Dan tentu saja, gagasan-gagasan semu hanya akan menghasilkan harapan semu. Anda setuju?.


M. Jekson,
Aktivis Mahasiswa Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar