Jumat, 06 Mei 2011

Ke - KAMUS PR - an

Bangsa Indonesia sampai pada hari ini adalah sebuah bangsa yang besar yang di dalamnya sarat kemiskinan, kemelaratan dan mengalami penindasan adalah sebuah fakta. Petani selalu menderita akibat harga pupuk yang tinggi, merana akibat serbuan barang import. Nelayan menangisi lautnya yang telah kosong akibat eksploitasi alam para pemodal-pemodal, buruh terjepit oleh gaji yang hanya cukup untuk sesuap nasi. Anak-anak terpaksa harus terpaksa bekerja, gadis-gadis desa terjerembab dalam lumpur prostitusi dan sekian puluhan juta rakyat Indonesia lainnya menganggur.

Tulisan di atas hanya sekelumit bukti bahwa Indonesia sampai pada hari ini tidak bisa lepas dari kubangan eksploitasi kapitalisme, terjerat oleh kemiskinan dan kemelaratan. Fakta, dalam berbagai wujudnya hadir setelah melalui berbagai proses. Kemiskinan, kemelaratan dan segala bentuk penindasan terhadap rakyat Indonesia hari ini tidak tiba-tiba ada. Ingat, rakyat Indonesia pernah hidup dalam sebuah periode yang panjang dimana ia ia tidak mengenal bentuk-bentuk penghisapan.

Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata belum memiliki relevansinya, kemerdekaan, ternyata tidak kunjung juga dinikmati oleh rakyat Indonesia. Perjuangan demi sebua tatanan sosial yang lebih adil belumlah tuntas…………
Kondisi ini bisa dihilangkan, rakyat Indonesia tidak harus melarat dan miskin.

Tapi fakta tetaplah sebuah fakta. Kemiskinan tetap saja kemiskinan, kemelaratan tetap saja kemelaratan, dan dominasi kapitalisme tetap saja merupakan dominasi. Walau kita bisa mengatakan rakyat Indonesia bahagia, namun faktanya tetap. Kemerdekaan Indonesia belum termanifestasi, rakyat Indonesia tetap saja miskin dan melarat akibat tatanan social yang tidak beripihak kepada mereka

Wahai mahasiswa mari bergerak, pijakan kaki pada realitas social Indonesia dan terjun dalam aktivitas-aktivitas yang revolusioner. Berbekal dengan panduan teori-teori revolusioner kita akan terjun di tengah-tengah aksi pembebasan rakyat.

Rakyat butuh kerja-kerja kongkret, bukti-bukti dari aktivitas revolusioner kita. Mengabdikan dedikasi dan komitmen intelektual kita terhadap upaya-upaya mewujudkan sebuah tatanan sosial yang lebih adil, sejahtera secara ekonomi dan demokratis secara politik.

Komitmen terhadap nilai-nilai intelektual inilah yang akan menyatakan keberpihakan mahasiswa terhadap rakyat, bukan kepada kelompok sosial lain yang melakukan dominasinya.

KAMUS PR adalah sebuah organisasi dengan format yang revolusioner progresif. Sebuah organisasi yang senantiasa melancarkan aksi-aksinya, memekikkan perlawanan dengan lantang, menghentakan pukulan-pukulan dengan bersandar pada sebuah panduan teoritik yang ilmiah demi sebuah tujuan bersama itulah sebuah organisasi yang hendak melakukan aktifitas politik mahasiswa secara ilmiah yang jelas akan keberpihakannya terhadap rakyat.


Metamorphosis KAMUS PR (Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag ’45 Surabaya Pro Rakyat)

KAMUS PR lahir dari kristalisasi dinamika gerakan mahasiswa UNTAG ’45 Surabaya. Berangkat dari embrio di era ‘1990 yang termanifestasi dalam gerak AMUK (Aliansi Mahasiswa UNTAG untuk Keadilan), kemudian di era 1994 berganti nama menjadi MUAK (Mahasiswa UNTAG Anti Kekerasan), selanjutnya di era 1998 terbentuklah KAMUS PR (Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag ’45 Surabaya Pro Reformasi). Namun reformasi yang diharapkan bisa merubah tatanan sosial yang lebih baik untuk rakyat ternyata masih jauh diharapkan dan hanya jala ditempat, sehingga KAMUS Pro Reformasi melebur menjadi kekuatan dengan keberpihakan yang lebih jelas yaitu Rakyat.
Karena keberpihakan terhadap rakyat adalah suatu kewajiban bagi kaum-kaum intelektual sehingga berubah menjadi KAMUS Pro Rakyat.

AMUK (Aliansi Mahasiswa Untag untk Keadilan) merupakan embrio awal dari gerakan pro demokrasi (Prodem) di untag. Terbentuk ditahun 1990an, berangkat dari asumsi bahwa mahasiswa dapat menjadi jembatan antara kebijakan Negara dan kepentingan rakyat. AMUK melakukan diskusi-diskusi kritik terhadap teori-teori pembangunanisme dan modernisasi yang dilancarkan oleh orde baru di bawah jenderal Soeharto. AMUK juga melakukan pendampingan-pendampingan (advokasi) terhadap masyarakat yang di daerahnya dilanda konflik structural.

Gerakan mahasiswa secara nasional pada masa itu, khusunya di Untag masih pada tahapan hanya mengembangkan budaya kritik terhadap rejim karena pada masa itu tidak dimungkinkan untu melakukan tindakan-tindakan frontal melawan rejim. Orientasi lebih pada mengembangkan dan memperkuat organisasi-organisasi gerakan yang ada di kampus yang nantinya diharapkan bisa menjembatani antara kepentingan rakyat vs kepentingan Negara lewat berbagai pendampingan pendampingan (advokasi).

Identifikasi mana lawan-kawan era ini belum jelas, dengan menjadikan jenderal Soeharto sebagai musuh bersama, maka secara umum yang menjadi “Kawan” gerakan mahasiswa adalah semua kelompok yang anti Soeharto.

Pada era 1994an, muncul dala situasi sosial dimana Negara sedang dalam masa puncak represif, issue militerisme menjadi issue utama dikalangan pergerakan nasional, terutama akibat berbagai gejolak dan pelanggaran HAM oleh ABRI diberbagai daerah di Indonesia, misal; DOM Aceh, DOM Irian Jaya, tragedy Tanjung Priok, dll. MUAK (Mahasiswa Untag Anti Kekerasan) hadir dalam era ini, dimana gelanggang yang dipilih mahasiswa, yakni pada daerah-daerah kasus, posisi militer selalu berhadapan dengan kawan-kawan yang melakukan pendampingan.

MUAK (Mahasiswa Untag Anti Kekerasan) sebaai bagian dari keseluruhan pergerakan nasional mengangkat issue militerisme sebagai sentral issue, termasuk usaha-usahanya adalah dengan berusaha mewujudkan demokratisasi di kampus lewat menggasak bentuk-bentuk militerisme yang ada di kampus seperti Menwa (Resimen Mahasiswa)

Akhirnya pada awal tahun 1998 sebuah organisasi gerakan dengan nama baru yang berangkat dari basis organisasi geraka lingkungan kampus UNTAG ’45 Surabaya membentuk KAMUS PR (Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag ’45 Surabaya Pro Reformasi). Setelah melakukan evaluasi kondisi objektif bangsa, akhirnya mengambil pilihan momentum reformasi 98, sesuai dengan kesepakatan pergerakan Nasional.

Pada masa itu tidaklah salah jika mereka melegalkan diri, yakni mengambil pilihan untuk mendorong organisasi secara terbuka melakukan pressure-presure secara konfrontatif melawan rejim otoriter Soeharto, dengan harapan tumbangnya rejim Soeharto dapat membuka peluang bagi upaya demokratisasi disegala bidang kehidupan bangsa.

Kondisi obyektif pada masa itu, yakni ketika seluruh elemen rakyat bersepakat untuk menurunkan rejim Soeharto, KAMUS PR memberikan kontribusi besar bagi tersediannya aksi massa yang kuantitatif sangat besar, berbagai upaya yang dilakukan mulai dari melaukan rapat akbar, aksi turun kejalan, mimbar bebas, pentas musik perlawanan, dan mengirimkan beberapa delegasi kader KAMUS PR ke berbagai kota. Secar perlahan-lahan gerak dinamika perlawanan rakyat-mahasiswa atas rejim Soeharto mulai membuahkan hasil dengan turunnya Soeharto pada 21 Mei sebagai symbol kekuasaan yang otoriter, maka babak baru dalam upaya demokratisasi dimulai. Euphoria politik setelah turunnya Soeharto mendorong menjamurnya berbagai organisasi, reformasi menjadi jargon yang umum, semua orang meneriakan reformasi, bahkan mesin politik orde baru yaitu golkar berteriak reformasi pula.

Penghianatan elit politik dan elit gerakan mahasiswa inilah yang akhirnya menjadi evaluasi mendasar selain semakin matangnya pemahaman bagi KAMUS Pro Reformasi menjadi KAMUS Pro Rakyat. Secara silih berganti kepemimpinan KAMUS Pro Rakyat dipercayakan mulai dari kawan Abdi Edison, Fatkhurrozy, Sandi, Jen Jenk, Mahfud Husairi, Syamsul Muarif dan sekarang Amir Baihaqi lalu dilanjutkan oleh Aris.

Perubahan dari KAMUS Pro Reformasi menjadi KAMUS Pro Rakyat pada tahun 2001 tidak hanya bergulir pada nama, perubahan nama ini berlanjut pada perubahan orientasi gerakan, karakter dan pola gerak KAMUS PR yang lebih menyatakan secara eksplisit keberpihakannya terhadap rakyat tertindas. Tidak lagi bergerak secara reaksioner dengan mengangkat issue-issue elitis , KAMUS Pro Rakyat bergerak dengan landasan ilmiah dan kerakyatann, perubahan ini mensyaratkan tersediannya kader-kaderintelektual yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat dan komitmen terhadap teselenggaranya suatu perubahan sosial kehidupan sejahtera secara ekonomi dan demokratis secara sosial politik.

Struktural KAMUS PR

Dalam sebuah organisasi pastilah didukung dengan elemen-elemen yang akan menunjang kerja-kerja organisasi. KAMUS PR sendiri mempunyai elemen-eleman yang menunjang satu sama lain bukan hanya sebagai perluasan sayap organisasi tetapi juga sebagai perluasan isu-isu perlawan terhadap rezim yang menindas. Adapun struktur organisasi dalam KAMUS PR adalah:

Ketua Umum : Sebagi pucuk pimpinan tertinggi dalam organisasi yang memimpin organiasi dan sebagai penanggung jawab terhadap biro organiasi. Sekretaris Jendral: Berfungsi sebagai pengontrol segala aktivitas organisasi yang ada di dalam kampus yang juga mempunyai tanggung jawab langsung kepada Ketua Umum. Biro Aksi: Biro ini khusus mengurusi segala mobilisasi massa/mahasiswa dalam rangka penyelanggaraan aksi-aksi mahasiswa sebagai bentuk perlawanan. Biro Pendidikan: Biro pendidikan menjadi tempat kaderisasi dimana sebagai wadah penempaan secara intelektual bagi para anggota maupun kader sehingga kader mempunyai bekal ilmu, pengetahuan ilmiah dan wawasan yang luas yang nantinya ilmu, pengetahuan ilmiah dan wawasan itu menjadi alat perjuangan. Biro Agitasi/Propaganda: Sesuai namanya, biro ini berfungsi sebagai media atau corong propaganda dan informasi terhadap isu-isu yang berkembang di rakyat dan agitasi sebagai bentuk perlawanan non-aksi.

Makna dan Arti Lambang Bendera KAMUS PR

Secara filosofis gambar semut merupakan sebuah komunitas yang komunal di mana satu sama lain saling bekerja sama, gotong royong untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama-sama. Kerja yang komunal mencerminkan arti progresif seorang kader yang konsisten untuk giat melakukan kerja-kerja pengorganisiran rakyat dan mahasiswa.

Warna hitam; melambangkan keabadian. Di dalamnya terkandung makna bahwa perjuangan tidak akan berhenti sampai orientasi dan cita-cita sosial yang terpatri dalam dada termanifestasi.

Warna merah; melambangkan semangat perlawanan. Di dalamnya terkandung makna bahwa harus ada keberanian untuk melawan dalam kerja-kerja mewujudkan tatanan sosial yang adil.

Demikianlah sekelumit latar belakang sejarah terbentuknya KAMUS PR yang terus berembrio sejak tahun 1990an sampai sekarang, beserta makna dan lambang dan benderanya. Untuk itu bergabunglah bersama kami dalam politik pembebasan yang revolusioner. Mari muliakan hidup kita dengan ilmu dan perjuangan.

Tunduk Tertindas Atau Bangkit Melawan, Sebab Mundur Adalah Penghianatan. Berjuang Bersama Rakyat Merebut Demokrasi Sejati. Hidup rakyat, hidup mahasiswa !

* Diterbitkan oleh: BiroAgitasi dan Propaganda

Kamis, 05 Mei 2011

Sejarah Politik Konfrontasi Malaysia

Maraknya demontrasi anti Malaysia yang terjadi diberbagai daerah telah menjadi semacam topic hangat untuk diperhatikan. Nasionalisme rakyat Indonesia dan ketegasan pemerintah seakan mendapat ujian karena untuk kesekian kalinya Malaysia kembali membuat ulah dengan menangkap tiga pegawai DKP. Dengan spontanitas atas rasa sebagai warga Negara Indonesia semua bergerak tanpa dikomando untuk turun ke jalan dan menyerukan “Ganyang Malaysia”.

Bukan pertama kali ini saja ketika rakyat dengan berapi-api turun ke jalan dan meneriakan anti Malaysia atau Ganyang Malaysia. Penilaian atas ulah Malaysia yang selalu sewenang-wenang dan selalu berulang-ulang itu rupanya mendapat respon yang keras dari rakyat Malaysia. Ini bisa dilihat terjadinya aksi demontrasi yang sampai tulisan ini ditulis tak menyurutkan gelombang aksi. Berbagai ekspresi demontrasi pun dilakukan untuk menunjukan bahwa rakyat Indonesia habis akan kesabarannya karena ulah Malaysia. Mulai dari pembakaran bendera Malaysia sampai pelemparan kotoran manusia ke kedutaan Malaysia, bahkan ancaman sweeping siap untuk dilakukan jika Malaysia terus dengan arogansinya merongrong Indonesia.

Lalu sejak kapankan aksi protes dan demontrasi itu berlangsung dan bagaimana pula rakyat Indonesia dengan spontanitas turun melakukan pembelaan terhadap bangsanya ketika mendapat rongrongan dari luar. Dan dimana pula para pemipin negeri ini beserta tentaranya ketika kedaulatan di injak-injak oleh Malaysia. Bukankah kita sering mendengar slogan-slogan yang ada bahwa NKRI harga mati dari para prajurit-prajurit bangsa ini.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada masa demokrasi terpimpin di bawah Soekarno. Indonesia menjadi salah satu negara dengan kekuatan militer yang disegani di kawasan Asia tenggara. Gaya kepemimpinan Soekarno juga telah mendapat pengakuan dunia dan menjadi salah satu pemimpin yang berpengaruh khususnya Asia dan Afrika. Ketegasan Soekarno terhadap penolakan kolonialisme, neokolonialisme, dan imperealisme seakan telah melekat pada dirinya dan menjadi inspirasi bagi Negara-negara Asia Afrika untuk bangkit dari penjajahan dan ketertindasan.

Keberhasila kampanye pembebasan Irian barat pada bulan Agustus 1962 dari tangan Belanda, membawa babak baru pada era konfrontasi dengan Malaysia dimulai. Malaysia dengan sokongan dari Inggris ingin mewujudkan agar wilayah Sabah, Serawak dan Brunei (Kalimantan utara) masuk dalam persekutuan Malayasia telah menyeret Indonesia dalam konfrontasi dan menjadikan suasana politik Indonesia menjadi mendua antara merehabilitasi keadaan perekonomian negara yang mengalami inflasi 100% per tahun pasca kampanye pembebasan Irian Barat atau melaksanakan politik konfrontasi sebagai upaya penentangan rencana Malaysia terhadap Sabah, Serawak dan Brunei.

Tudingan bahwa Malaysia hanya menjadi Negara boneka Inggris sebagai kawasan pangkalan militer dan kontrol atas Asia tenggara jelas sangat bertentangan dengan semangat Indonesia dan Soekarno yang selalu meneriakan anti kolonialisme, imperealisme dan neo kolonialisme. Meskipun tidak sampai terjadi pertempuran besar terbuka.

Letupan-letupan kecil tatkala terjadi pemberontakan di Brunei dari pembangkang yang menolak rencana penggabungan sebelum pembentukan Malaysia, namun demikian pemberontakan itu sendiri dapat di gagalkan oleh tentara-tentara Inggris pada desember 1962. sementara itu di Tokyo Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia Tuanku Abdul Rahman dan kemudian dilanjutkan dengan pertemuan antar menteri luar negeri Indonesia, Malay dan Filipina di Manila. Yang menghasilakan kesepakatan agar sekjen PBB untuk mengutus misi ke serawak dan sabah untuk memastika kehendak rakyat apakah mereka hendak bergabung dengan Malaysia ataukah tidak.

Ketika utusan-utusan dari PBB menyatakan bahwa hasil mayoritas menginginkan bergabung dengan Malaysia, langsung ditolak Indonesia mentah-mentah. Karena menurut pihak Indonesia, Malaysia akan tetap didirikan dalam keadaan apapun sesuai dengan pernyataan Tuanku Abdul Rahman ketika pertemuan di Tokyo dengan Soekarno. Inilah yang kemudian melahirkan konfrontasi peperangan kecil di daerah perbatasan antara Indonesia yang diwakili oleh para relawan dan pemberontak penentang penggabungan lagi serta penyusupan-penyusupan ke dalam wilayah Malaysia. Namun demikian politik konfrontasi yang dilancarkan oleh Indonesia di bawah Soekarno tidaklah mencapai hasil apa-apa kecuali kesepakatan damai pada akhirnya. Adanya gejolak kondisi dalam negeri pasca G30S dan pembangkangan yang dilakukan oleh para perwira angkatan darat mempunyai andil dalam kegagalan politik konfrontasi dengan Malaysia.

(AB)





GERAKAN PRO-DEMOKRASI ; 5W+1H

What ; “Apakah gerakan prodemokrasi itu?”

Sebagai sebuah istilah, "Gerakan Pro-demokrasi" mengandung arti yang cukup luas, tergantung dari sudut pandang yang dipakai serta konteks penempatannya. Dalam perkembangannya, terutama justru sesudah minggirnya Suharto pada 21 Mei 1998 yang lalu, gerakan yang ada di Indonesia memperoleh sebutan REFORMASI. Dengan demikian, Gerakan Reformasi dewasa ini lebih berkumandang dan berhasil menggantikan sebutan Pro-Demokrasi.

Untuk menghindari kesalah-pahaman, maka perlu kiranya kita mencapai kesepakatan akan sebutan yang sebaiknya diterapkan untuk mengamati serta mengikuti gerakan yang dimaksudkan di atas. Menurut penulis, sebutan pro-demokrasi atas gerakan di Indonesia masih tetap relevan untuk terus digunakan, menginggat makna yang lebih luas seperti terkandung dalam kata tersebut serta potensinya untuk terus dikembangkan ke taraf konsolidasi gerakan massa untuk mencapai demokrasi sejati. Ini merupakan langkah awal dalam menguatkan usaha penguburan Orde Baru sebagai sebuah sistem.

Gerakan Pro-Demokrasi merupakan salah satu elemen saja di dalam spektrum perlawanan terhadap sistem Orde Baru. Gerakan Pro-Demokrasi adalah fenomena yang wajar dan merupakan konsekuensi logis yang tidak dapat dihindari dalam proses perkembangan sebuah gerakan di mana kondisi kehidupan masyarakatnya sarat dengan represi.

Who : ”Siapakah gerakan prodemokrasi?”

Sebagai sebuah elemen, Gerakan Pro-Demokrasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sesungguhnya, menjadi sebuah wadah di mana berbagai pihak ikut ambil bagian. Mereka adalah mahasiswa, organisasi politik (orpol), LSM, kelompok akademisi, bias juga partai politik, dengan berbagai isme-nya. Mereka tampil dan dikenal melalui berbagai bentuk protes aksinya. Dari segi organisasi, mereka beragam dan didasari oleh aneka macam aliran serta pola pemikiran pula. Meski pun demikian, keanekaragaman bentuk serta tujuan organisasi yang ada memiliki kesamaan pendekatan: manifestasi mereka mengambil bentuk protes aksi yang bersifat aksi massa.

Konsekuensi logis dari keaneka-ragaman bentuk dan aliran dalam Gerakan Pro-Demokrasi tersebut berupa berjuta-juta tuntutan masing-masing organisasi yang secara umum bersifat popular (istilah yang penulis pinjam dari khasanah gerakan Amerika Latin). Secara tersirat atau pun tidak, tuntutan mereka baik yang menamakan diri sebagai gerakan moral atau pun politik, selalu menuju pada esensi masalah utama dari sebuah sistem yang anti kerakyatan dan represif.

Organisasi gerakan prodemokrasi biasanya memiliki ciri militan. Sejak represivitas orde baru, potensi militansi dalam perlawanan semakin menampakkan dirinya baik secara kualitatif atau pun kuantitatif, yang pada hari ini, sesudah lengsernya Suharto, ternyata para pemuda dan mahasiswa berani melawan mesin Negara yang anti rakyat.

When + Where : ”kapan dan dimana munculnya gerakan prodemokrasi?”

Sedangkan dibelahan Negara yang lain, telah lebih dulu bergelora. Lihat saja Filipina dengan Peristiwa Manila di tahun 1982, di China dengan Tragedi Tiananmen tahun 1989, di Thailand dengan Peristiwa Bangkok di tahun 1992. Sedangkan hampir seluruh negeri di Amerika Latin berhasil menumbangkan Rezim Otoritarian bentukan penjajah Amerika Serikat dan Sekutunya. Di Indonesia, gerakan prodemokrasi muncul di akhir 80an. Dan akumulasi gerakan tersebut berbuah hasil di tahun 1998, meski didahului dengan kejadian tragis ‘tragedi mei kelabu’ 1997. Dimana berhasil menumbangkan kedigdayaan Jenderal Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Why : ”mengapa terjadi gerakan prodemokrasi?”

Kelompok prodemokrasi secara umum menyatakan bahwa problem umum yang dihadapi bangsa khususnya di negeri-negeri dunia ketiga adalah kuatnya dominasi Negara yang dalam beberap segi hal memandulkan kreativitas dan aspirasi rakyat. Negara berupaya menjalankan politik sentralisasi serta menggunakan pendekatan hegemoni budaya dan militeristik, sehingga Negara sangat berkuasa tanpa melibatkan partisipasi rakyatnya.

Masa-masa transisi (pergantian dari rezim otoriter ke rezim baru) pada faktanya memperlihatkan kerentanan Negara terhadap praktek new bureaucratic polity dan new militarism, dengan kembalinya militer dalam ruang politik dimana rentan munculnya negara otoritarian gaya baru. Oleh karena itu untuk mendorong percepatan demokrasi transisi, konsolidasi demokrasi mutlak dilakukan.

How : “bagaimana gerakan prodemokrasi itu?”

Proses gerakan dan hasilnya akan berbeda di tiap-tiap konteks negara dan musuhnya. Yang terpenting adalah bagaimana gerakan itu mampu memahami kondisi obyektif maupun subyektifnya. Jika pembaca sepakat dengan saya, kondisi obyektif saat ini telah bergerak ke arah yang lebih menguntungkan untuk sebuah perubahan. Tak lain, factor penting disini adalah krimondial (krisis neo-liberalisme) yang diiringi dengan kebangkitan rakyat. Namun, tak dapat dipungkiri pula akan adanya kelemahan. Gerakan Pro-Demokrasi pada tahap ini, yakni belum menemukan identitasnya sendiri secara kolektif. Kenyataan ini membawa kemenangan yang kecil dan minim, yang seharusnya kita mengerti dan terima dengan baik. Ada pun penyebab kemenangan minim tersebut: kondisi obyektif yang tidak dibarengi dengan solidnya Gerakan Pro-Demokrasi, sebenarnya memperoleh dukungan massa rakyat. Tujuan yang sebenarnya dari Gerakan Pro-Demokrasi bukan lah sekedar memaksa Suharto minggir, melainkan terus berjuang hingga tercipta masyarakat yang demokratis serta berkeadilan social. Gerakan Prodemokrasi selalu memiliki program bersama. Program bersama tersebut dapat menjadi kekuatan yang ampuh bila ia dapat menyerap aspirasi rakyat seluas-luasnya dan memiliki kemampuan memobilisasi yang besar. Program bersama yang merupakan program umum itu harus dijelujuri oleh garis politik yang tepat dan dilengkapi dengan semboyan-semboyan politik praktis yang tepat pula, untuk kemudian disosialisasikan ke segenap massa rakyat seluas-luasnya. Di sinilah perlunya secara mutlak pekerjaan di kalangan massa. Dengan demikian massa yang selama Orde Baru didepolitisasi itu dapat disadarkan, dibangkitkan untuk kemudian dimobilisasi.

Syamsul Muarif . Simpatisan KAMUS PR



Sabtu, 18 Desember 2010

Kemenangan Gerakan Komunisme Vietnam Pelajaran dari Dua Vietnam

Amir Baihaqi

Gerakan anti dominasi asing di Vietnam dalam perjuangan melawan kolonialisme dan camput tangan asing bukan saja berhasil dengan gemilang tapi juga mampu menyatukan Vietnam yang terbelah menjadi Vietnam Selatan dan Vietnam Utara. Cita-cita menjadi Negara yang berdulat penuh tanpa dominasi asing memang terwujud meskipun harus dibayar mahal dengan peperangan dengan menelan banyak korban jiwa. Gerakan anti dominasi asing Vietnam yang dipelopori kaum komunis, dalam perkembangannya tidak bisa dilepaskan oleh Founding Father, Ho Chi Minh serta dua wadah gerakannya yaitu Viet Minh dan Viet Cong.

Ho Chi Minh
Tahun 1922 untuk pertama kalinya Ho Chi Minh mengunjungi Moscow dalam rangka menghadiri kongres Komunis Internasional (komintern). Setahun kemudian dia kembali ke Moscow untuk menghadiri kongres Tani Internasional serta berhasil menjadi anggota eksekutif dari organisasi tersebut. Kesempatan itu ternyata tidak disia-siakan oleh Ho untuk mendalami lagi pengetahuan dan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme ketika menjadi mahasiswa di Eastern Worker University.

Selain mendalami ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme, Ho juga banyak mendapatka pelajaran, pengalaman dan taktik revolusi Bolshevik sebagai gerakan pembebasan rakyat yang tertindas. Pelajaran dan ilmu itulah kemudian kelak menjadi panduan dan bekal dalam gerakan-gerakan revolusi di Vietnam yang banyak terpengaruh dari ajaran Marxisme-Leninisme dan gerakan revolusi Bolshevik.

Dari ajaran dan prinsip inilah Ho kemudian memimpin gerakan komunisme di Vietnam dengan cita-cita Vietnam harus dipersatukan dibawah panji-panji komunismeyang bersatu dan tanpa dominasi asing.

Tanggal 3 Februari 1930 selanjutnya, Ho Chi Minh berhasil menyatukan kelompok gerakan komunisme di Vietnam pada tingkat konsolidatif dan berhasil dibentuk sebuah Partai Komunis Indocina (Vietnam). Tahap awal perjuangan kemerdekaan dalam wadah partai komunis Vietnam kemudian berhasil merumuskan 10 point tujuan revolusi. Tiga point pokok adalah sebagai berikut:
1. Melawan imperialisme Perancis, feodalisme dan kaum reaksioner klas kapitalis Vietnam.
2. Membentuk Negara Vietnam yang merdeka secara penuh.
3. Mendirikan suatu pemerintahan yang terdiri dari kaum petani, buruh, dan militer.

Sebagai tokoh dan pemimpin gerakan komunis Vietnam, Ho Chi Minh bukan hanya saja mampu menyatukan kelompok gerakan komunis tetapi juga berhasil menyatukan antara kelompok Nasionalis dan Komunis selama perang kemerdekaan untuk bersatu mengusir imperialisme Perancis dan Jepang pada Perang Dunia II. Inilah kemudian Ho Chi Minh lebih dikenal sebagai bapak nasionalisme daripada tokoh dan pemimpin gerakan komunis di Vietnam, sehingga komunisme mampu diterima baik di kalangan rakyat dan mempunyai pengaruh luar biasa karena sosok Ho Chi Minh disamping perpaduan nilai-nilai sosial budaya yang sangat dihormati rakyat.


Kemunculan Viet Minh
Situasi perang dunia II yang ditandai dengan agresifitas Jerman dan Jepang telah turut mempengaruhi di Vietnam yang pada waktu itu di kuasai Perancis. Ekspansionisme jepang akhirnya tak dapat dibendung untuk menguasai Indocina sebagai pangkalan militer yang strategis di kawasan Asia Tenggara dengan berhasil mengusir Perancis untuk sementara dan berhasl mendirikan Negara boneka Mantsukuo di Vietnam.

Pergeseran kekuasaan dari Jepang ke Perancis semakin mendesak dan menyadarkan rakyat Vietnam yang bercerai berai antara dua kekuatan besar Nasionalis dan Komunis. Dominasi dan pendudukan Jepang seperti halnya di berbagai Negara yang diduduki selama perang dunia II lebih banyak menyengsarakan dan eksploitasi besar untuk kepentingan perang melawan sekutu.

Perasaan anti kapitalis, dominasi asing, senasib, dan seperjuangan melawan penjajah maka munculah gagasan United National Forces agar berbagai barisan yang berbeda di Vietnam antara kaum komunis dan nasionalis dengan bisa bersatu untuk mengatasi keadaan itu.

Gagasan United National Forces rupanya juga rekomendasi da garis kebijakan dari Moscow dalam membimbing partai-partai komunis di Asia Tenggara untuk mengadakan kerjasama dengan kelompok-kelompok non komunis yang lebih dikenal dengan taktik “Front Persatuan”.

Dalam situasi kritis dan mendesak serta keganasan Jepang maka pada bulan Mei 1941, kaum komunis mengadakan kongres di Chiangsi, propinsi Kwangsi. Dalam kongres rupanya juga turut mengundang wakil dari kelompok dan golongan nasionalis di Vietnam. Tanggal 19 Mei 1941, kongres itu akhirnya mencapai sebuah kesepakatan bersama untuk membentuk wadah perjuangan yaitu Liga Kemerdekaan Vietnam yang diberi nama Viet-Nam Doc Lap Dong Minh atau yang lebih popular dengan sebutan Viet Minh

Secara struktur formal Viet Minh merupakan Liga Kemerdekaan yang terdiri dari berbagai barisan, namun secara material organisasi itu lebih banyak di dominasi oleh kaum komunis, sehingga Viet Minh ini selanjutnya juga menjadi alat propaganda pengaruh komunis dan melebarkan sayapnya.

Bulan Agustus setelah Jepang mengami kekalah demi kekalahan dalam perang dan di jatuhkannya bom atom akhirnya Jepang yang diwakili Bao Dai pemerintahan boneka sementara jepang menyerahkan kekuasaan ke Ho Chi Minh. Keadaan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Viet Minh dan pada tanggal 2 September 1945 Vietnam diproklamirkan sebagai Negara merdekadengan nama Republik Demokrasi Vietnam berpusat di Hanoi.
Antara Selatan dan Utara
Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan sekutu, Perancis yang tergabung dalam grup sekutu mencoba untuk merongrong kemerdekaan Vietnam. Sekitar tahun 1946-1947 tentara Perancis berhasil masuk ke Vietnam dan memukul mundur tentara Viet Minh sampai ke daerah-daerah pedesaan.

Namun kemunduran tentara Viet Minh samapi masuk ke daerah-daerah desa bukan berarti lemah, tahun 1949 bahkan lebih meningkatkan kekuatan karena factor dukungan dari rakyat yang ada di desa-desa tetapi juga dukungan dan bantuan dari RRC dibawah Mao Tse Tung serta sekutu dekatnya Rusia.

Sebagai pusat pertahanan dan pangkalan militer utama Perancis memilih benteng Dien Bien Phu karena tempatnya yang strategis berada di delta sungai merah dan pada tanggal 20 November 953 Perancis di bawah komando Jenderal Navarre dengan kekuatan pasukan besar yang di datangkan dari Jeman Barat, Korea Selatan, dan Amerika Serikat berhasil menguasai benteng Dien Bien Phu. Dari kekuatan besar ini diharapkan tentara gabungan sekutu bisa menghancurkan pasukan Viet Minh. Perancis sendiri membentuk pemerintahan boneka sendiri yang bernama Republik Vietnam dengan mengangkat Bao Dai yang juga pernah menjadi antek Jepang selama masa pendudukan Jepang.

Meskipun didukung dengan persenjataan dan kekuatan pasukan dalam jumlah besar (gabungan sekutu) rupanya Jenderal Navarre tak mampu menghancurkan pasukan Viet Minh yang sudah terlanjur kuat di desa – desa. Di bawah jenderal Vo Nguyen Giap gerakan pasukan Viet Minh khususnya gerakan-geraka komunis semakin membuat pasukan gabungan Perancis – Sekutu kalang kabut karena Viet Minh mengadakan perlawanan dengan metode yang telah diatur sedemikian rupa. Pasukan-pasukan Viet Minh itu menggunakan taktik yang diajarkan oleh Mao Tse Tung “ musuh maju, kita mundur, musuh diam kita ganggu, musuh lemah kita serang, musuh mundur kita kejar”.

Posisi Perancis yang terus semakin terdesak oleh serangan-serangan seporadis Viet Minh telah berhasil menguasai sepertiga daerah di Vietnam sebelah utara. Keadaan ini telah mendorong agar pihak Perancis dan barat untuk membuka perundingan untuk mencegah pasukan Viet Minh di bawah Jenderal Vo Nguyen Giap lebih merajalela dan menguasai benteng Dien Bien Phu. Atas desakan RRC dan Rusia akhirnya Viet Minh mau melakukan perundingan dengan pihak Perancis dan Barat di Jenewa Swiss tanggal 26 April 1954.

Mendengar bahwa beberapa hari lagi akan diadakan konferensi perundingan, tanggal 13 Maret 1954, Jenderal Vo Nguyen Giap rupanya telah mempersiapkan kejutan serangan besar dan terbuka untuk menggempur serta merebut benteng Dien Bien Phu dari tangan Perancis.

Dalam situasi perang di benteng Dien Bien Phu serangan dan perebutan benteng Dien Bien Phu oleh tentara Viet Minh di bawah pimpinan Vo Nguyen Giap, perundingan di Jenewa dilaksanakan. Pertempuran yang mengagumkan itu memakan waktu 55 hari 55 malam. Pada tanggal 7 Mei 1954 seluruh kekatan Perancis dapat dihancurkan dan berakhir pada kemenangan pihak Viet Minh.

Kemenangan pihak Viet Minh terdengar sampai di meja perundingan dan telah mempercepat proses perundingan. Pada tanggal 20 Juli 1954 tercapai persetujuan dan menghasilkan keputusan, antara lain membagi Vietnam menjadi dua antara Vietnam utara dan Vietnam Sealatan dengan batas garis lintang 17 derajat LU. Perancis dengan Republik Vietnam Selatan yang ada di utara pindah ke selatan sebaliknya untuk Republik Demokrasi Vietnam.

Pembagian dua Vietnam ini jelas sangat bertentangan dengan cita – cita mulia Ho Chi Minh sekaligus bapak bangsa Vietnam yang menginginkan Vietnam merdeka dan bersatu. Hasil perundingan yang menghasilkan pemisahan Vietnam utara dan selatan ini juga selanjutnya menjadi babak awal drama peperangan dan perjuangan Vietnam dalam meraih kemerdekaan yang bebas dari campur tangan asing.

Kelahiran Viet Cong
Perkembangan yang terjadi antara Vietnam selatan dan Vietnam utara ternyata tidak berbanding lurus. Jika Rebuplik Demokrasi Vietnam (Vietnam utara) yang berpusat di Hanoi mulai menata dan membangun kehidupan setelah serangkaian perang kemerdekaan melawan Perancis, kondisi sebaliknya justru terbalik dengan Vietnam Selatan yang berpusat di Saigon (sekarang berganti nama menjadi Ho Chi Minh City). Ketidakpuasan rakyat Vietnam selatan terhadap para birokrat dan penguasa waktu itu banyak melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme telah mendorong rakyat di selatan untuk memberontak terhadap pemerintahan boneka Perancis dan campur tangan Amerika Serikat.
Dalam tahun 1960 lahir sebuah Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan (FPNVS) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Viet Cong (Komunis Vietnam) dari nama sudah bisa ditebak bahwa front ini lebih cenderung ke Hanoi (Vietnam Utara) yang memang berpaham komunis. Viet Cong di bawah pimpinan komite pusat yang diketuai oleh Nguyen Huu Tho. Yang menarik adalah bahwa berdirinya Viet Cong dengan pengaruh komunisnya ini ternyata mendapat sambutan dan dukungan rakyat Vietnam Selatan penuh karena kepandaian para pemimpin Viet Cong dalam mengkolaborasikan nilai-nilai sosial budaya dan ajaran – ajaran seperti Konfusianisme, Budhisme, dan Taoisme yang ada di rakyat.
Tujuan Viet Cong jelas bahwa Front ini dimaksudkan untuk melawan rezim Saigon di bawah pengaruh dan campur tangan Amerika serikat yang mempunyai kepentingan membendung pengaruh komunisme di Indocina. Kekhawatiran Amerika Serikat sangat beralasan, sebab dalam relatif singkat Viet Cong telah berhasil menguasai 90 % wilayah di selatan.
Dalam perkembangan yang pesat, pertengahan tahun 1969 tepatnya 6 - 8 Juni para tokoh – tokoh gerakan Front mengadakan pertemuan bertempat di tengah hutan dan menghasilkan point penting yaitu pembentukan pemerintah sendiri yang diberi nama Pemerintahan Sementara Revolusioner Vietnam Selatan (PSRVS). Dan akhirnya pada tanggal 9 Juni melaui siaran radio dari Hanoi, resmi diumumkan berdirinya Pemerintahan Sementara Revolusioner Vietnam Sementara. (BERSAMBUNG......)

Senin, 05 Juli 2010

Kantor Majalah Tempo dilempar 2 Molotov

AUFKLARUNG ONLINE - Kantor Majalah Tempo di jalan Proklamasi 72 Menteng Jakarta Pusat dilempari dua bom molotov Selasa (6/7) dini hari pukul 02.40.

Bom meledak tepat di kaca depan kantor Tempo. Bom tersebut dilempar dari luar gerbang Tempo yang berjarak 10 meter dari kaca depan. Aksi pelemparan ini diketahui oleh penjaga keamanan, Sutrisno, Rambat, Tri Prianto, dan Mulyana.

Menurut Tri, pelakunya dua orang mengendarai satu motor bebek. (Tapi Tri tidak melihat wajah pelempar dan plat nomor motor. “Mereka pakai jaket warna gelap,” katanya. Aksi dua orang ini sangat cepat. Satu orang sebagai pengendara, yang lain menyulut api dan melemparkan bom. (Baca: Pelempar Bom Molotov di Majalah Tempo Belum Terlacak )

Api dari dua botol minuman energi itu berhasil dipadamkan oleh petugas keamanan Tempo. Tak lama, anggota Kepolisian Sektor Menteng menangani dan memeriksa keadaan. (AK)

Politik Kartel Atau Dinasti?


AUFKLARUNG ONLINE - Pemilu 2009 sudah usai. Lembaga baru kekuasaan di republik sudah resmi bertugas: wakil rakyat sudah dilantik, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pun resmi memasuki Istana, serta kabinet baru sudah terbentuk. Meski Pemilu 2009 meninggalkan persoalan administratif, pesta demokrasi itu memberi harapan bagi kehidupan politik demokrasi di Indonesia. Catatan penting yang bisa ditarik adalah Indonesia kini mulai merintis format baru politik pasca reformasi. Tapi, ke mana kah arah poltik baru itu bergerak?

Berikut adalah catatan dari diskusi “Kecenderungan Politik Kontemporer Indonesia: Politik Kartel dan Politik Dinasti”, pada Kamis, 15 Oktober 2009 di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jalan Sawo, No.11, Menteng, Jakarta Pusat. Pengantar diskusi disampaikan Dr Kuskhirdo Ambardi, staf pengajar UGM Yogyakarta, dan Hendrik Boli Tobi dari P2D. Catatan ini diolah dari hasil diskusi, dan dimoderatori oleh Sahat C Panggabean dari Fakultas Psikologi UI, Jakarta.

***

PASCA pemilu nasional, konstelasi politik di Indonesia secara alamiah menata ulang dirinya sendiri. Kutub-kutub politik yang saling menguat dan menjauh satu sama lainnya semasa pemilu, mulai mencair kembali. Fenomena ini terlihat jelas pada perilaku elite politik. Gelombang pertama reposisi ini tentu saja saat pemilu anggota legislatif selesai dan pemilu presiden dan wakil presiden hendak dimulai. Pasangan capres dan cawapres mengumpulkan partai-partai politik yang berkenan menyokong pencalonan diri mereka.

Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.

Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.


Politik Kartel atau Dinasti?

Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.

Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.

Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini? Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akbiatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.

Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.

Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.

Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.

Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.

Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.

Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut.

Ongkos Politik dan Gerakan Anti Korupsi.

Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menurunkan ongkos politik. Jika durasi tayang atau ongkos memasang iklan di TV dan radio dibatasi atau dibuat murah, maka biaya politik modern yang sangat mengandalkan efek media bisa diturunkan. Lalu, aturan-aturan hukum juga perlu diperjelas, wilayah abu-abu mengenai pemberian uang “terimakasih” dan pembuktian hukum jika ada menteri atau pejabat negara yang “diperas” harus dapat perlu dioperasionalkan.

Terakhir adalah penguatan KPK. Besar dugaan bahwa tawar menawar posisi menteri dengan partai politik dengan harapan si menteri akan menjadi “kasir” bagi kelompoknya. Jika KPK berkerja maksimal maka intensi menyelewengkan uang negara untuk kepentingan kelompok dapat ditiadakan.

Dengan demikian, akibat transaksi politik tidak sampai merugikan kepentingan publik. Alternatif lainnya, yang lebih bersifat harapan adalah mengisi ruang publik dengan suara kritis. Jika percaya pidato politik SBY adalah kehendak politiknya: meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi, maka ada setitik virtue dalam pribadinya.

Oleh karenanya suara berbeda dan kritis diharapkan yang bisa menggugah karakter virtue SBY di saat kebijakannya tidak pro terhadap kepentingan publik. Suara dan aktivitas organisasi masyarakat publik (civil society organization) di ruang diskusi dan opini intelektual publik di media massa adalah upaya yang masih bisa dilakukan ketika sistem formal terkooptasi.

Kalaupun tidak pada diri SBY, kita berharap ada individu-individu yang duduk di legislatif yang tergugah nuraninya dan berani bersuara berbeda jika kekuasaan mulai menyimpang dari tujuan memajukan kesejahteraan umum.

Anas, harapan (semu) politik kaum muda


Kemenangan Anas Urbaningrum menjadi ketua umum partai Demokrat menjadi wacana besar dan inspirasi bagi kesadaran politik anak-anak Muda. Anas yang memang memiliki usia relatif muda dibandingkan kedua calon lain dianggap merepresentasikan kesempatan politik kaum muda dalam kepemimpinan partai politik. Kemenangan Anas pun dijadikan sebagai ukuran untuk melepaskan budaya patronase yang melekat dalam tradisi kepartaian di Indonesia.


Jika demikian adanya, betulkah kemenangan Anas dapat menjadi khabar baik bagi partisipasi politik kaum muda? Apakah Anas merepresentasikan gagasan muda dalam memenangkan kontestasi politik di partai Demokrat. Atau yang lebih penting, justru sejauh mana gagasan-gagasan anas dapat hidup dan menjaga eksistensinya didalam partai Demokrat.

Anas dan gagasan ’semu’

Anas memang bukan pemain baru dalam konstelasi politik nasional. Selain pernah menjadi anggota KPU, beliau juga pernah menjabat ketua umum organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (1997 – 1999). Disitulah cikal bakal dan pengalaman membangun organisasinya ditumbuh-kembangkan. Dengan gaya bicara santun dan pikiran-pikiran cerdas, anas menjadi sosok dan karakter ideal dalam pentas politik.

Dalam kampanye-nya yang disampaikan kemarin , Anas bertekad melaksanakan konsep berpolitik dengan gagasan. Pidatonya yang berjudul ”membangun budaya demokrasi” menawarkan gagasan dan visi yang jelas agar partai politik (baca ; partai demokrat) dapat menjadi partai modern dan partai demokratis ke depan. Menurutnya, ada beberapa masalah yang diidentifikasikan sebagai tantangan partai politik dalam membangun budaya demokrasi yang baik. Permasalahan itu antara lain ; politik uang, patronase, semangat sub-nasionalisme, meritokrasi yang lemah dan munculnya kecenderungan fenomena ”zero sum game” dalam persaingan politik. Gagasan-gagasan ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda dan kalangan pengikut partai demokrat.

Sejauh itu, Anas tentu masih dapat dianggap merepresentasikan kaum muda. Gagasan yang dilontarkannya dapat dikategorikan radikal apabila dikemukakan menjelang kontestasi partai Demokrat. Apalagi jika melihat situasi pencalonannya, praktis gagasan Anas (Utamanya soal gagasan partai modern dan demokratis) dapat dilihat sebagai kritik terbuka terhadap kondisi yang tengah berjalan didalam partai Demokrat. Tak sedikit orang yang memaknai gagasan ini sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan peran dan pengaruh SBY dalam perjalanan partai Demokrat ke depan. Dalam situasi seperti inilah, gagasan Anas dianggap mewakili kepentingan dan semangat kaum muda. Gagasan Anas diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi kondisi partai politik yang masih kolot-konvensional.

Sayangnya semua itu tampak seperti gagasan semu. Apa yang dikemukakan Anas ternyata tak berjalan sesuai di lapangan realitas. Hambatan melakukan perubahan justru bermula dari dalam dirinya sendiri. Didalam dirinya, Anas tak mampu mengejawantahkan gagasan-gagasannya karena harus bernegosiasi dengan keadaan. Anas memiliki tingkah laku yang paradoksal dengan gagasan-gagasan yang dilontarkannya.

Pertama, Anas tak mampu menampik image atau kesan mirip SBY yang diopinikan oleh banyak orang. Gaya politik santun dan karakter cerdas yang ditampilkan dirinya seolah-olah merupakan hasil dari transformasi nilai-nilai yang diajarkan oleh SBY. Padahal karakter tersebut sesungguhnya merupakan karakter khas pribadi seorang Anas, jauh sebelum Anas mengenal dan memasuki partai Demokrat. Jika anas tampak mendiamkan atau cenderung membiarkan (dan mungkin menikmati) kondisi tersebut maka itu dapat berarti Anas tak bersikap ”serius” terhadap gagasan-gagasannya. Gagasan anas tampak semu ketika ia justru bermaksud membangun karakter politik khas partai demokrat harus sesuai dengan karakter yang sudah digariskan oleh SBY. Disini Anas justru tampak mewariskan karakter patronase didalam dirinya. Anas tentu tak bermental muda ketika berlaku demikian.

Kedua, gagasan yang disampaikan Anas selayaknya sesuai dengan aspirasi gagasan kaum muda karena identik dengan independensi dan sikap kemandirian. Sehingga pemahaman soal gagasan kaum muda pada akhirnya nanti diukur oleh sejauh mana karakter independensi personal diterjemahkan dalam kebijakan partai. Sekali lagi, sepertinya Anas lupa dengan hal itu. Kemenangan Anas bukanlah awal untuk mengurangi praktek budaya patronase namun justru menjadi awal untuk melestarikan situasi paternalistik dalam bentuk baru. Hadirnya majelis tinggi partai Demokrat (dimana SBY terdapat didalamnya) yang memiliki fungsi dan kewenangan yang begitu besar menjadi bukti bahwa gagasan Anas tak berlaku dalam praktek. Hampir dapat dipastikan kemudian, Anas takkan mampu mengurangi peran tunggal dan ketergantungan partai Demokrat terhadap figur SBY dalam mengelola dinamika kepartaian.

Kedua hal ini sekaligus dapat bermakna bahwa kemenangan yang dimiliki oleh Anas sesungguhnya bukanlah sebuah kemenangan gagasan, namun terdapat pertimbangan/ faktor politik lain yang menyebabkan dukungan kemenangan mengalir ke Anas. Jika demikian, maka wajarlah gagasan-gagasannya menjadi begitu semu karena hal ini bermula dari problematika individu seorang Anas.

Masih (dapatkah) menjadi harapan

Terlepas dari itu semua, Anas tetap merupakan sosok yang memiliki potensi besar dalam kepemimpinan politik kaum muda. Tampilnya Anas sebagai pemimpin partai politik memberikan secercah harapan partisipasi politik kaum muda yang lebih luas. Anas menghadirkan inspirasi bagi estafet kepemimpinan ditengah kondisi partai politik yang ”kering” suasana regenerasi. Setelah kejayaan kaum muda di era founding fathers, Anas mewakili tradisi baru kepemimpinan politik kaum muda.

Harapan yang begitu besar ditujukan kepada seorang Anas. Melalui gagasan-gagasan yang disampaikannya Pidato Membangun Budaya Demokrasi), Anas memberikan harapan munculnya kondisi demokrasi yang produktif bagi generasi muda. Namun hal itu tak berarti apa-apa ketika gagasan tak berjalan sesuai dengan realitas. Pelaksanaan gagasan harus bermula dalam praktek tindakan personal. Sedini mungkin, Anas semestinya membuktikan gagasan cerdasnya dapat berjalan didalam logika partai demokrat. Anas harus mampu memberikan keteladanannya dengan mempraktekkan gagasan-gagasannya menjadi panduan kebijakan partai. Jika tidak, maka gagasan-gagasan yang dikemukakan selama ini hanyalah gagasan-gagasan semu. Dan tentu saja, gagasan-gagasan semu hanya akan menghasilkan harapan semu. Anda setuju?.


M. Jekson,
Aktivis Mahasiswa Jakarta.