Senin, 05 Juli 2010

Kantor Majalah Tempo dilempar 2 Molotov

AUFKLARUNG ONLINE - Kantor Majalah Tempo di jalan Proklamasi 72 Menteng Jakarta Pusat dilempari dua bom molotov Selasa (6/7) dini hari pukul 02.40.

Bom meledak tepat di kaca depan kantor Tempo. Bom tersebut dilempar dari luar gerbang Tempo yang berjarak 10 meter dari kaca depan. Aksi pelemparan ini diketahui oleh penjaga keamanan, Sutrisno, Rambat, Tri Prianto, dan Mulyana.

Menurut Tri, pelakunya dua orang mengendarai satu motor bebek. (Tapi Tri tidak melihat wajah pelempar dan plat nomor motor. “Mereka pakai jaket warna gelap,” katanya. Aksi dua orang ini sangat cepat. Satu orang sebagai pengendara, yang lain menyulut api dan melemparkan bom. (Baca: Pelempar Bom Molotov di Majalah Tempo Belum Terlacak )

Api dari dua botol minuman energi itu berhasil dipadamkan oleh petugas keamanan Tempo. Tak lama, anggota Kepolisian Sektor Menteng menangani dan memeriksa keadaan. (AK)

Politik Kartel Atau Dinasti?


AUFKLARUNG ONLINE - Pemilu 2009 sudah usai. Lembaga baru kekuasaan di republik sudah resmi bertugas: wakil rakyat sudah dilantik, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pun resmi memasuki Istana, serta kabinet baru sudah terbentuk. Meski Pemilu 2009 meninggalkan persoalan administratif, pesta demokrasi itu memberi harapan bagi kehidupan politik demokrasi di Indonesia. Catatan penting yang bisa ditarik adalah Indonesia kini mulai merintis format baru politik pasca reformasi. Tapi, ke mana kah arah poltik baru itu bergerak?

Berikut adalah catatan dari diskusi “Kecenderungan Politik Kontemporer Indonesia: Politik Kartel dan Politik Dinasti”, pada Kamis, 15 Oktober 2009 di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jalan Sawo, No.11, Menteng, Jakarta Pusat. Pengantar diskusi disampaikan Dr Kuskhirdo Ambardi, staf pengajar UGM Yogyakarta, dan Hendrik Boli Tobi dari P2D. Catatan ini diolah dari hasil diskusi, dan dimoderatori oleh Sahat C Panggabean dari Fakultas Psikologi UI, Jakarta.

***

PASCA pemilu nasional, konstelasi politik di Indonesia secara alamiah menata ulang dirinya sendiri. Kutub-kutub politik yang saling menguat dan menjauh satu sama lainnya semasa pemilu, mulai mencair kembali. Fenomena ini terlihat jelas pada perilaku elite politik. Gelombang pertama reposisi ini tentu saja saat pemilu anggota legislatif selesai dan pemilu presiden dan wakil presiden hendak dimulai. Pasangan capres dan cawapres mengumpulkan partai-partai politik yang berkenan menyokong pencalonan diri mereka.

Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.

Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.


Politik Kartel atau Dinasti?

Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.

Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.

Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini? Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akbiatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.

Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.

Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.

Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.

Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.

Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.

Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut.

Ongkos Politik dan Gerakan Anti Korupsi.

Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menurunkan ongkos politik. Jika durasi tayang atau ongkos memasang iklan di TV dan radio dibatasi atau dibuat murah, maka biaya politik modern yang sangat mengandalkan efek media bisa diturunkan. Lalu, aturan-aturan hukum juga perlu diperjelas, wilayah abu-abu mengenai pemberian uang “terimakasih” dan pembuktian hukum jika ada menteri atau pejabat negara yang “diperas” harus dapat perlu dioperasionalkan.

Terakhir adalah penguatan KPK. Besar dugaan bahwa tawar menawar posisi menteri dengan partai politik dengan harapan si menteri akan menjadi “kasir” bagi kelompoknya. Jika KPK berkerja maksimal maka intensi menyelewengkan uang negara untuk kepentingan kelompok dapat ditiadakan.

Dengan demikian, akibat transaksi politik tidak sampai merugikan kepentingan publik. Alternatif lainnya, yang lebih bersifat harapan adalah mengisi ruang publik dengan suara kritis. Jika percaya pidato politik SBY adalah kehendak politiknya: meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi, maka ada setitik virtue dalam pribadinya.

Oleh karenanya suara berbeda dan kritis diharapkan yang bisa menggugah karakter virtue SBY di saat kebijakannya tidak pro terhadap kepentingan publik. Suara dan aktivitas organisasi masyarakat publik (civil society organization) di ruang diskusi dan opini intelektual publik di media massa adalah upaya yang masih bisa dilakukan ketika sistem formal terkooptasi.

Kalaupun tidak pada diri SBY, kita berharap ada individu-individu yang duduk di legislatif yang tergugah nuraninya dan berani bersuara berbeda jika kekuasaan mulai menyimpang dari tujuan memajukan kesejahteraan umum.

Anas, harapan (semu) politik kaum muda


Kemenangan Anas Urbaningrum menjadi ketua umum partai Demokrat menjadi wacana besar dan inspirasi bagi kesadaran politik anak-anak Muda. Anas yang memang memiliki usia relatif muda dibandingkan kedua calon lain dianggap merepresentasikan kesempatan politik kaum muda dalam kepemimpinan partai politik. Kemenangan Anas pun dijadikan sebagai ukuran untuk melepaskan budaya patronase yang melekat dalam tradisi kepartaian di Indonesia.


Jika demikian adanya, betulkah kemenangan Anas dapat menjadi khabar baik bagi partisipasi politik kaum muda? Apakah Anas merepresentasikan gagasan muda dalam memenangkan kontestasi politik di partai Demokrat. Atau yang lebih penting, justru sejauh mana gagasan-gagasan anas dapat hidup dan menjaga eksistensinya didalam partai Demokrat.

Anas dan gagasan ’semu’

Anas memang bukan pemain baru dalam konstelasi politik nasional. Selain pernah menjadi anggota KPU, beliau juga pernah menjabat ketua umum organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (1997 – 1999). Disitulah cikal bakal dan pengalaman membangun organisasinya ditumbuh-kembangkan. Dengan gaya bicara santun dan pikiran-pikiran cerdas, anas menjadi sosok dan karakter ideal dalam pentas politik.

Dalam kampanye-nya yang disampaikan kemarin , Anas bertekad melaksanakan konsep berpolitik dengan gagasan. Pidatonya yang berjudul ”membangun budaya demokrasi” menawarkan gagasan dan visi yang jelas agar partai politik (baca ; partai demokrat) dapat menjadi partai modern dan partai demokratis ke depan. Menurutnya, ada beberapa masalah yang diidentifikasikan sebagai tantangan partai politik dalam membangun budaya demokrasi yang baik. Permasalahan itu antara lain ; politik uang, patronase, semangat sub-nasionalisme, meritokrasi yang lemah dan munculnya kecenderungan fenomena ”zero sum game” dalam persaingan politik. Gagasan-gagasan ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda dan kalangan pengikut partai demokrat.

Sejauh itu, Anas tentu masih dapat dianggap merepresentasikan kaum muda. Gagasan yang dilontarkannya dapat dikategorikan radikal apabila dikemukakan menjelang kontestasi partai Demokrat. Apalagi jika melihat situasi pencalonannya, praktis gagasan Anas (Utamanya soal gagasan partai modern dan demokratis) dapat dilihat sebagai kritik terbuka terhadap kondisi yang tengah berjalan didalam partai Demokrat. Tak sedikit orang yang memaknai gagasan ini sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan peran dan pengaruh SBY dalam perjalanan partai Demokrat ke depan. Dalam situasi seperti inilah, gagasan Anas dianggap mewakili kepentingan dan semangat kaum muda. Gagasan Anas diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi kondisi partai politik yang masih kolot-konvensional.

Sayangnya semua itu tampak seperti gagasan semu. Apa yang dikemukakan Anas ternyata tak berjalan sesuai di lapangan realitas. Hambatan melakukan perubahan justru bermula dari dalam dirinya sendiri. Didalam dirinya, Anas tak mampu mengejawantahkan gagasan-gagasannya karena harus bernegosiasi dengan keadaan. Anas memiliki tingkah laku yang paradoksal dengan gagasan-gagasan yang dilontarkannya.

Pertama, Anas tak mampu menampik image atau kesan mirip SBY yang diopinikan oleh banyak orang. Gaya politik santun dan karakter cerdas yang ditampilkan dirinya seolah-olah merupakan hasil dari transformasi nilai-nilai yang diajarkan oleh SBY. Padahal karakter tersebut sesungguhnya merupakan karakter khas pribadi seorang Anas, jauh sebelum Anas mengenal dan memasuki partai Demokrat. Jika anas tampak mendiamkan atau cenderung membiarkan (dan mungkin menikmati) kondisi tersebut maka itu dapat berarti Anas tak bersikap ”serius” terhadap gagasan-gagasannya. Gagasan anas tampak semu ketika ia justru bermaksud membangun karakter politik khas partai demokrat harus sesuai dengan karakter yang sudah digariskan oleh SBY. Disini Anas justru tampak mewariskan karakter patronase didalam dirinya. Anas tentu tak bermental muda ketika berlaku demikian.

Kedua, gagasan yang disampaikan Anas selayaknya sesuai dengan aspirasi gagasan kaum muda karena identik dengan independensi dan sikap kemandirian. Sehingga pemahaman soal gagasan kaum muda pada akhirnya nanti diukur oleh sejauh mana karakter independensi personal diterjemahkan dalam kebijakan partai. Sekali lagi, sepertinya Anas lupa dengan hal itu. Kemenangan Anas bukanlah awal untuk mengurangi praktek budaya patronase namun justru menjadi awal untuk melestarikan situasi paternalistik dalam bentuk baru. Hadirnya majelis tinggi partai Demokrat (dimana SBY terdapat didalamnya) yang memiliki fungsi dan kewenangan yang begitu besar menjadi bukti bahwa gagasan Anas tak berlaku dalam praktek. Hampir dapat dipastikan kemudian, Anas takkan mampu mengurangi peran tunggal dan ketergantungan partai Demokrat terhadap figur SBY dalam mengelola dinamika kepartaian.

Kedua hal ini sekaligus dapat bermakna bahwa kemenangan yang dimiliki oleh Anas sesungguhnya bukanlah sebuah kemenangan gagasan, namun terdapat pertimbangan/ faktor politik lain yang menyebabkan dukungan kemenangan mengalir ke Anas. Jika demikian, maka wajarlah gagasan-gagasannya menjadi begitu semu karena hal ini bermula dari problematika individu seorang Anas.

Masih (dapatkah) menjadi harapan

Terlepas dari itu semua, Anas tetap merupakan sosok yang memiliki potensi besar dalam kepemimpinan politik kaum muda. Tampilnya Anas sebagai pemimpin partai politik memberikan secercah harapan partisipasi politik kaum muda yang lebih luas. Anas menghadirkan inspirasi bagi estafet kepemimpinan ditengah kondisi partai politik yang ”kering” suasana regenerasi. Setelah kejayaan kaum muda di era founding fathers, Anas mewakili tradisi baru kepemimpinan politik kaum muda.

Harapan yang begitu besar ditujukan kepada seorang Anas. Melalui gagasan-gagasan yang disampaikannya Pidato Membangun Budaya Demokrasi), Anas memberikan harapan munculnya kondisi demokrasi yang produktif bagi generasi muda. Namun hal itu tak berarti apa-apa ketika gagasan tak berjalan sesuai dengan realitas. Pelaksanaan gagasan harus bermula dalam praktek tindakan personal. Sedini mungkin, Anas semestinya membuktikan gagasan cerdasnya dapat berjalan didalam logika partai demokrat. Anas harus mampu memberikan keteladanannya dengan mempraktekkan gagasan-gagasannya menjadi panduan kebijakan partai. Jika tidak, maka gagasan-gagasan yang dikemukakan selama ini hanyalah gagasan-gagasan semu. Dan tentu saja, gagasan-gagasan semu hanya akan menghasilkan harapan semu. Anda setuju?.


M. Jekson,
Aktivis Mahasiswa Jakarta.